A.
Latar
Belakang

Banyak yang berpendapat pemimpin
itu harus tegas, jujur dan peduli. Semua sifat-sifat mulia dari pemimpin itu
tidak didapatkan secara cepat, memantaskan diri menjadi pemimpin dapat
dilakukan sejak kecil dan bertahap hingga dewasa. Teori genetis yang menyatakan
pemimpin itu tidak dibuat, akan tetapi lahir dan dikaruniai bakat-bakat alami
yang lauar biasa sejak lahir. Teori sosial yang adalah lawan dari teori genetis
menyatakan pemimpin itu harus disiapakan, dididik dan dibentuk tidak serta
merta dilahirkan begitu saja. Jadi setiap orang bisa jadi pemimpin, melalui
usaha penyiapan dan pendidikan, serta didorong oleh kemauan sendiri.[1]
Dari kedua teori yang sudah
dijelaskan teori sosial lebih mumpuni untuk dijadikan patokan menjadikan
seorang pemimpin yang baik. Karena kebaikan tidak dilahirkan tapi diperoleh
dari tindakan yang dilakukan. Perasaan untuk berbagi dan berbuat adil harus
diasa terus agar sensitif dan diharapkan pemimpin-pemimpin melakukan sesuatu
yang harus dilakukan bukan yang ingin dilakukan.
Al Qur’an dan Hadis sebagai Pedoman
hidup ummat Islam sudah mengatur sejak awal bagai mana seharusnya kita memilih
dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2000) ada beberapa hal yang harus
dipahami tentang hakikat kepemimpinan.[2]
kepemimpinan dalam Al Qur’an bukan sekedar kontak sosial antara sang pemimpin dengan
masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah Swt.
“Dan
ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan
larangan (amanat), lalu ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman :
Sesungguhnya aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya
: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah Swt mejawab: Janji
(amanat) Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim”.
(Q.S Al Baqarah : 124).
Perihal mengenai pemimpin dalam
Islam merupakan suatu wacana yang selalu menarik untuk didiskusikan.wacana
tentang kepemimpinan dalam Islam ini sudah ada dan berkembang, tepatnya pasca
Rasulullah Saw wafat. Nabi Muhammad Saw adalah pemimpin agama dan negara.
Beliau mengemban dua beban sekaligus. Di satu sisi sebagai Nabi dan Rasul Allah
yang menyampaikan Dakwah Islam, di sisi lain sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi di negara Madinah ketika itu. Rasullullah merupakan suri tauladan
bagi semua ummat, termasuk para pemimpin karena dalam diri beliau hanya ada kebaikan,
kebaikan dan kebaikan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al Qur’an :
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah Swt dan (kedatangan) hari kiamat dan
Dia menyebut Allah”. (Q.S Al Ahzab: 21)
Kepemimpinan dalam konsep Al Qur’an
di sebutkan dengan istilah Imamah. Al
Qur’an mengkaitkan kepemimpinan dengan hidayah dan pemberian petunjuk pada
kebenaran. Seorang pemimpin tidak boleh melakukan kezaliman, dan tidak pernah
melakukan kezaliman dalam segala tingkat kezaliman, kezaliman dalam keilmuan
dan perbuatan , kezaliman dalam mengambil keptusan dan aplikasinya.
Seorang pemimpin harus mengetahui
keadaan ummatnya, merasakan langsung penderitaan mereka. Seorang pemimpin harus
melebihi ummatnya dalam segala hal : keilmuan dan perbuatan, pengabdian dan
ibadah, keberanian dan keutamaan , sifat dan perilaku dan lainnya.
Pemimpin yang ideal adalah pemimpin
yang cara memimpinnya beracuan Al Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum utama
ajaran Islam. Tidak semata-mata membuat aturan sendiri yang menyimpang dari
ajaran Islam. Banyak sekali orang yang kurang tahu tentang krikteria pemimpin
menurut pandangan Islam dan cara memimpin dalam Islam. Keadaan ini sangat
mengkhawatirkan, melihat banyaknya perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan
yang diajarkan dalam Islam. Salah satu penyebab dari kekacauan yang akhir-akhir
ini terjadi adalah peran pemimpin yang kurang mampu membawa masyarakat kearah
yang lebih baik.
Dalam
menyebut pemimpin, Al Qur’an menggunakan kata-kata yang tidak sama. Khalifah, Imam, Malik, Ulil Amri adalah
beberapa istilah yang dipakai oleh Al Qur’an dalam menyebutkan pemimpin.
Tulisan ini akan mencoba mengeksplor tentang pemimpin ideal menurut Al Qur’an
dengan harapan kita dapat menagkap pesan yang ingin disampaikan oleh Allah Swt
lewat firmannya tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah yang penulis uraikan, permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ilmiah
Qur’an ini antara lain:
1.
Bagaimana
hakikat seorang pemimpin ideal?
2.
Apa dan bagaimana menjadi pemimpin yang ideal menurut Al Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penegertian
Pemimpin Ideal
Pemimpin
berasal dari kata “pimpin” (dalam bahasa inggris lead) berarti bimbing dan tuntun. Dengan demikian didalamnya ada
dua pihak yang terlibat yaitu yang “dipimpin” dan yang “memimpin”. Setelah
ditambah awalan “pe” menjadi “pemimpin” (dalam bahasa ingris leader) berarti orang yang menuntun atau
yang membimbing. Secara etimologi pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi
serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama,
sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat
proses kelompok.[3]
B.
Pemimpin
ideal menurut Al Qur’an
Pemimpin
ideal menurut Al Qur’an adalah mereka yang memiliki sikap emosional yang
terkendali, sikap mental yang mapan dan kecerdasan intelektual yang mumpuni.
Tidak berbuat kerusakan dibumi, tidak menumpakan darah, berbuat adil dan tidak
menuruti hawa nafsu adalah ungkapan-ungkapan Al Qur’an dalam menjabarkan hal
tersebut. Pemimpin ideal adalah seseorang yang terpilih tidak sekedar karena gen (keturunan), tetapi lebih banyak
karena kemampuan diri sendiri dan kepemimpinan tidak dapat diturunkan kepada
anak cucu.[4]
Masalah
pemimpin dikalangan ummat Islam mulai ramai dibicarakan sejak sepeninggal
Rasulullah Saw. Diungkapkan oleh Abdurrahman Asy Syarqowi (2010:92) bahwa
sepeninggal Rasulullah Saw terjadi kekosongan kepemimpinan. Terjadi beberapa
gesekan bagi mereka yang masih hidup seperti halnya udara yang masuk dari ruang
kosong yang saling bertabrakan, hingga akhirnya disepakati Abu Bakar sebagai
Khalifah Pertama dalam sejarah ummat Islam.[5]
Islam
sendiri banyak memberi gambaran tentang sosok pemimpin yang benar-benar layak
memimpin ummat menuju kemaslahatan, baik dari Al Qur’an, Hadis, maupun
keteladanan Rasulullah Saw dan para sahabat. Sebagai sosok pemimpin ideal bagi
ummat Islam, Rasulullah Saw memiliki beberapa krkteria yang dapat ditentukan
dalam hal memilih seorang pemimpin.[6]
Berbicara
tentang krikteria seorang pemimpin menurut ketentuan Al Qur’an sangatlah luas,
namun para pakar telah lama menelusuri Al Qur’an dan Hadis dan menyimpulkan
minimal ada empat krikteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat
untuk menjadi pemimpin ummatnya, antara lain :
a. Shidiq (Jujur)
Kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Kejujuran adalah lawan dari dusta dan ia memiliki arti kecocokan sesuatu sebagaimana dengan fakta. Nabi Muhammad saw. sebagai utusan terpercaya Allah jelas tidak dapat lagi diragukan kejujurannya, kerena apa yang beliau sampaikan adalah petunjuk (wahyu) Allah yang bertitik pada kebenaran yaitu ridlo Allah. Sebagaimana difirmankan dalam QS. An-Najm:3-4.
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”(QS. An-Najm:3-4).
b. Amanah/Terpercaya
Kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Sebelum diangkat menjadi rasul, nabi Muhammad Saw bahkan telah diberi gelar Al-Amien yang artinya orang yang dapat dipercaya. Hal ini karena beliau adalah pribadi yang benar-banar dapat dipercaya dikalangan kaumnya. Seperti yang telah dijelaskan oleh Eaton (2006:175).
Pada tahun 605 dewan pemerintah Quraisy memutuskan untuk merenovasi ka’bah, pada saat pemindahan hajar aswad terjadi sengketa antara beberapa klan (bani), ketidak sepakatan ini muncul karena masing-masing mereka berebut untuk memperoleh kehormatan memindahkan hajar aswad pada tempatnya. Diputuskan bahwa orang pertama yang masuk lapangan (segi empat ka’bah) lewat satu pintu tertentu hendaknya diminta bertindak sebagai juru damai, dan orang pertama yang adalah Muhammad. Ia mengatakan kepada penduduk untuk menghamparkan sebuah jubah besar, menempatkan batu itu diatasnya dan memanggil wakil tiap klan untuk bersama-sama mengangkatnya dalam posisi, kemudian ia sendiri meletakkan batu itu ketempatnya. Allah mengisyaratkan dengan tegas untuk mengangkat “pelayan rakyat” yang kuat & dapat dipercaya dalam surat Al-Qoshos ayat 26.
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".( Q.S.Al-Qoshos:26).
Amanah merupakan kualitas yang harus dimiliki seorang pemimpin. Dengan memiliki sifat amanah, pemimpin akan senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat yang telah dibebankan sebagai amanah mulia di atas pundaknya. Kepercayaan maskarakat berupa penyerahan segala macam urusan kepada pemimpin agar dikelola dengan baik dan untuk kemaslahatan bersama.
Dengan demikian, kriteria pemimpin yang dikonsepsikan di sini adalah tidak khianat terhadap tanggungjawab yang diberikan Allah, dan jabatan apapun diberikannya dari sesama manusia, dan terhadap dirinya sendiri. Intinya adalah, bahwa seorang pemimpin yang baik harus baik pula hubungannya dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia
c. Tablig (Komunikatif)
Penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Kemampuan berkomunikasi merupakan potensi dan kualitas prinsip yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena dalam kinerjanya mengemban amanat memaslahatkan umat, seorang pemimpin akan berhadapan dengan kecenderungan masayarakat yang berbeda-beda. Oleh karena itu komunikasi yang sehat merupakan kunci terjalinnya hubungan yang baik antara pemimpin dan rakyat.
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa
Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan Sesungguhnya
kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.”
Salah satu
ciri kekuatan komunikasi seorang pemimpin adalah keberaniannya menyatakan
kebenaran meskipun konsekuensinya berat. Dalam istilah Arab dikenal ungkapan, “kul
al-haq walau kaana murran”, katakanlah atau sampaikanlah kebenaran meskipun
pahit rasanya.
d. Fathonah (cerdas)
Kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Seorang pemimpin sebagai visioner haruslah orang yang berilmu, berwawasan luas, cerdas, kreatif, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Karena untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemakmuran masyarakat dibutuhkan pemikiran besar dan inovatif serta tindakan nyata. Kecerdasa (inteleligen) dalam hal ini mencakup segala aspek kecerdasan, baik kecerdasan emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
Kecerdasan seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi eksistensi kepemimpinannya baik di mata manusia maupun dimata sang pencipta. Hal ini sebagaimana janji Allah yang tertuang dalam Al Qur’an.[7]
“...Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Mujadalah: 11).
C. Pemimpin ideal Harapan Bangsa
Karakter pemimpin yang sangat dibutuhkan oleh bangsa dimasa kini maupun masa yang akan datang karean cita-cita negara yang sejahtera sangat erat kaitannya dengan pesan dari seorang pemimpin untuk mewujudkannya. Dalam pandangan Al Qur’an, pemimpin yang diangkat oleh masyarakat sebenarnya berada pada posisi menerima amanah, pada saatnya nanti narus mempertanggung jawabkan amanahnya kepada si pemberi amanah yaitu pada “pengadilan” masyarakat di dunia dan “pengadilan” Allah Swt di padang Mahsyar nanti.
Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyayangi atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah Saw :
“Barang siapa yang mengimami (pemimpin) sekelompok manusia (walau) dalam shalat, sedangkan mereka tidak menyayanginya, maka shalatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)”.
a. Demokratis
Dalam hal ini pemimpin tidak sembarang memutuskan sebuah adanya musyawarah yang mufakat. Sebab dengan keterlibatan rakyat terhadap pemimpinnya dari sebuah kesepakatan bersama akan memberikan kepuasan, pemimpin memberikan bantuan atau nasehat kepada anggota kelompok dalam pekerjaannya[8] sehingga apapun yang akan terjadi baik buruknya bisa ditanggung bersama-sama.
Pola kepemimpinan yang demokratis dapat diteladani dari pribadi Abu Bakar As-Shidiq. Hal ini dapat dilirik dari kutipan Khutbahnya ketika terpilih sebagai kholifah pertama.
"Saudara-saudara, Aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik diantara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. 'Orang lemah' diantara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. 'Orang kuat' diantara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah diantara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Swt. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan Sholat semoga Allah Swt melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua". (Asy-Syarqowi, 2010:98).
b. Keteladanan (qudwah)
Aspek keteladanan erat
hubungannya dengan budi pekerti (akhlak), dan hal inilah yang diperankan tokoh
pemimpin muslim ideal terdahulu. Rosulullah saw sebagai figur utama pemimpin
muslim banyak memberi siraman tentang nilai-nilai pekerti kepada umatnya,
seperti yang ditamankan kepada seorang pemimpin legendaris mislim yang
mengenyam pelajaran kenabian sejak kecil dari beliau, Ali bin Abi Tholib.
Seperti wasiat nabi
kepada Ali yang dikutip dari buku Abdurrahman Asy Sarqowi (2002:10) “ Wahai
Ali, maukah aku tunjukkan kepadamu akhlak terbaik orang-orang terdahulu
orang-orang (yang akan datang) kemudian?. Ali menjawab, ya, Rosulullah.
Rosulullah saw. kembali bersabda engkau memberi orang yang kikir kepadamu,
memaafkan orang yang mendzalimimu, dan menyambungkan tali silaturrahmi kepada
orang yang telah memutuskannya”.
Allah berfirman dalam surat Al-Qolam ayat 4 :
Dan Sesungguhnya
kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
(Q.S. Al-Qolam: 4).
c.
Kepeloporan
Seorang sebagai qudwah (panutan) bagi rakyatnya harus memempatkan
dirinya pada garda terdepan (pioneer), yang berarti kinerjanya tidak hanya
bermodal intelektual, retorika yang menjanjikan atau hanya konsep belaka, tapi
juga harus dibuktikan dalam tindakan nyata. Dalam hal ini Allah swt. Menegaskan
dalam Al Qur’an :
“Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang
pertama-tama berserah diri".(Q.S. Az-Zumar:20).
d.
Menguasai pengetahuan
Agama (religious).
Allah
mengingatkan kaum muslimin bahwa orang yang paling takut kepada-Nya adalah
ulama’ (orang-orang yang menguasai pengetahuan Agama).
“…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Dari ayat diatas jelas menunjukkan bahwa seorang
pemimpin hendaklah menguasai pengetahuan tentang agama Allah, karena mereka
hanya mengembalikan segala urusan kepada Allah dan Rosul-Nya tidak semata-mata
atas dasar keinginan dirinya sendiri.
Imam ghozali menjelaskan tentang sifat-sifat terpuji
ulama’ dalam kitabnya majmu’ah rosaail yang diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan
(2010:17) bahwa “ adab seorang ulama’ antra lain: selayaknya terus mencari dan
mengamalkan ilmu, memelihara ketenangan, meninggalkan sifat takabur dan tidak mengundangnya.
Mengasihi pencari ilmu dan tidak bersegera kepada orang sombong. Menyelesaikan
masalah orang awam dan tidak merasa gengsi untuk mengatakan, “saya tidak tahu.”
Memberikan perhatian serius atas pertanyaan penanya dan tidak berpura-pura.
Memperhatikan dan menerima argument, walaupun itu berupa bantahan.”
e.
Menguasai managemen (manajerial)
Allah berfirman dalam surat As-Saff.
Sesungguhnya
Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur
seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.
Dari ayat diatas, dapat dipahami bahwa seorang
pemimpin harus memiliki kemampuan mengelola dan mengorganisasikan system secara
teratur, agar terbangun sistem pemerintahan yang kokoh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kepemimpinan (leadership) adalah proses mempengaruhi yang dilakukah
oleh seseorang terhadap orang lain untuk dapat bekerjasama dalam mencapai
tujuan atau sasaran bersama yang telah ditetapkan.
Pemimpin adalah individu yang memiliki pengaruh terhadap individu lain
dalam sebuah system untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam Islam dikenal beberapa term pemimpin antara lain: Kholifah, Amiir (ulul
amr), dan Imam.
Dasar Al-Qur’an tentang kepemimpinan (Q.S. Al-Baqoroh :30):
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para
Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi."
Dasar hadist tentang
kepemimpinan :
“Ketahuilah bahwa setiap kamu adalah
pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya”
Sebagai pemimpin teladan yang menjadi model ideal
pemimpin, Rasulullah dikaruniai empat sifat utama, yaitu: Sidiq, Amanah, Tablig
dan Fathonah. Sidiq berarti jujur dalam perkataan dan perbuatan, amanah berarti
dapat dipercaya dalam menjaga tanggung jawab, Tablig berarti menyampaikan segala
macam kebaikan kepada rakyatnya dan fathonah berarti cerdas dalam mengelola
masyarakat.
Selain aspek-aspek diatas, masih
banyak kiteria yang layaknya dimiliki oleh pemimpin ideal seperti : Demokratis, Keteladanan (qudwah), kepeloporan (pioneer), menguasai pengetahuan agama (religious), menguasai manajemen (manajerial).
B. Saran
Sangat diperlukan sekali jiwa pepemimpin pada setiap pribadi manusia. Jiwa kepemimpinan
itu perlu selalu dipupuk dan dikembangkan. Paling tidak untuk memimpin diri
sendiri. Mentauladani Rasulullah Saw.
DAFTAR PUSTAKA
Asyarqowi, Abdurrahman. 2010. Abu Bakar Ash Shidiq :
Bandung: Syigma Publishing.
_____________________. 2010. Ali bin Abi Tholib :
Bandung: Syigma Publishing.
Eaton, Gai. 2006. Islam dan takdir manusia. Yogyakarta:
Suluh press.
Salim, A.M. 2002. konsepsi kekuasaan politik dalam
Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kartono,
kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta, Divisi Buku Perguruan
Tinggi, PT. RajaGrafindo Persada, 1982
Gerungan, W.A. Psikologi Sosial, Bandung, Refika
Aditama, 2009
Ali Aziz, Moh. Ilmu Dakwah, Jakarta, Kencana, 2009
[1] Kartono, kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan,
(Jakarta: Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT. RajaGrafindo Persada,
1982)
[3] Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi III (jakarta : Balai Pustaka, 2002) h. 874
[7] Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009)
[8] W.A Gerungan, Psikologi
Sosial, (Bandung : Refika Aditama, 2009), h. 142
Publikasi: Musabaqah Makalah Ilmiah Qur'an (M2IQ) Lombok Barat
0 komentar:
Post a Comment