Bimbingan dan konseling Keluarga;
Analisis Pembinaan Keluarga Persfektif Al Qur’an
Surah Lukman Ayat 16-17
Oleh : Akramul Wathan
(Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Islam)
Abstrak
Konseling keluarga sebagai bentuk formal suatu
kelompok terapeutik berkembang relatif baru. Keluarga mempunyai arti penting
dalam kehidupan manusia dalam kehidupan masyarakat. Terbentuknya keluarga bukan
semata-mata mempunyai kepentingan yang sama, tetapi dari itu adalah berdasarkan
sukarela dan cinta kasih yang azasi dia antara dua manusia (suami-isteri).
Berdasarkan rasa cinta kasih inilah kemudian lahir anak sebagai wadah antara
individu dan kelompok yang menjadi tempat pertama dan utama sosialisasi anak.
Ibu, ayah, saudara dan keluarga yang lain adalah orang yang pertama bagi anak
untuk mengadakan kontak dan tempat pembelajaran sebagaiman hidup orang lain.
Kata kunci : Bimbingan, konseling,
Keluarga
A. Pendahuluan
Keluarga
merupakan satuan persekutan hidup yang saling mendasar dan merupakan pangkal
kehidupan masyarakat. Di dalam keluargalah setiap warga masyarakat memulai
kehidupannya dan dari keluargalah setiap individu dipersiapkan untuk menjadi
warga masyarakat. Ketika menangani konseling, seorang konselor harus sadar
bahwa ia tidak boleh melihat klien hanya sebagai individu saja karena dalam
kenyataanya klien tidak hidup dalam lingkungan statis. Keluarga adalah salah
satu bagian dari hidup klien yang memberi pengaruh yang sangat besar, bahkan
dapat dikatakan paling besar. Pengaruh keluarga ini besifat positif tetapi juga
negatif. Dari sekian banyak kasus konseling yang dihadapi konselor, ternyata
bahwa masalah keluarga merupakan faktor yang paling kuat yang menyebabkan
masalah-masalah lain timbul. Lebih jauh, mutu kehidupan di dalam masyarakat dan
mutu masyarakat itu sendiri sebagian terbesar ditentukan oleh mutu
keluarga-keluarga yang mendukung kehidupan masyarakat itu. Palmo, Lowry,
Weldon, dan Scioscia (1984) mengidentifikasi perubahan-perubahan yang terjadi
secara signifikan mempengaruhi strukutur dan kondisi keluarga, yaitu
meningkatnya perceraian, kedua orang tua bekerja, pengangkatan anak, emansipasi
pria dan wanita, dan kebebasan hubungan seksual. Selain itu meningkatnya
kesadaran tentang anak-anak cacat, keadaan depresi dan bunuh diri, kesulitan
mencari pekerjaan dan ketidak mampuan ekonomi pada umumnya menambah unsur-unsur
yang mempengaruhi kehidupan keluarga.[1]
Secara umum masalah-masalah yang banyak dihadapi oleh keluarga yang tidak dapat
mereka atasi dan memerlukan bantuan orang lain yaitu konselor diantaranya: pertama,
peristiwa atau situasi yang membuat stress, kedua, sumber-sumber
kekuatan dalam keluarga, ketiga, cara anggota keluarga memandang situasi
yang terjadi.
Keluarga pada
dasarnya merupakan unit terkecil dari masyarakat yang dinahkodai oleh ayah
sebagai kepala keluarga, sedangkan ibu sebagai kepala kerumahtanggaan dan
sekaligus asisten nakhoda. Keluarga memegang peranan penting dalam pendidikan
anak-anak, bahkan Rasulullah Saw bersabda bahwa Setiap anak yang lahir itu
dalam keadaan suci bersih (fitrah) kedua orang tuannya yang memberikan
warna dalam arti menjadikannya yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebab Keluarga
sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat merupakan lingkungan budaya
pertama dan utama dalam rangka menanamkan norma dan mengembangkan berbagai
kebiasaan dan perilaku yang dianggap penting bagi kehidupan pribadi, keluarga
dan masyarakat.
Dalam
kehidupan masyarakat di manapun juga, keluarga merupakan unit terkecil yang
peranannya sangat besar. Peranan yang sangat besar itu disebabkan oleh karena
keluarga mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
bermasyarakat. Apabila fungsi keluarga tidak berjalan dengan baik maka timbul
ketidakserasian dalam hubungan antara anggota keluarga, dapat dikatakan
keluarga itu mempunyai masalah.
Konseling
keluarga merupakan proses bantuan kepada individu dengan melibatkan para
anggota keluarga lainnya dalam upaya memecahkan masalah yang dialami.[2] Konseling keluarga memandang keluarga secara
keseluruhan bahwa anggota keluarga adalah bagian yang tidak mungkin dipisahkan
dari anak (klien) baik dalam melihat permasalahannya maupun penyelesaiannya.
Sebagai suatu sistem, permasalah yang dialami seorang anggota keluarga akan
efektif diatasi jika melibatkan anggota keluarga yang lainnya. Pada mulanya
konseling keluarga terutama diarahkan untuk membantu anak agar dapat
beradaptasi lebih baik untuk mempelajari lingkungannya melalui perbaikan
lingkungan keluarganya.
Pada masa
lalu, konseling keluarga terfokus pada salah satu atau dua hal, yaitu (1)
keluarga terfokus pada anak yang mengalami bantuan yang berat seperti gangguan
perkembangan dan skizofrenia[3],
yang menunjukan jelas-jelas mengalami gangguan; dan (2) keluarga yang salah
satu atau kedua orang tua tidak memiliki kemampuan, menelantarkan anggota
keluarganya, salah dalam member kelola anggota keluarga, dan biasanya memiliki
sebagian masalah.
Anak di dalam
suatu keluarga sering kali mengalami masalah dan berada dalam kondisi yang
tidak berdaya di bawah tekanan dan kekuasaan orang tua. Permasalahan anak
adakalanya diketahui oleh orang tua dan sering kali tidak diketahui orang tua.
Permasalahan yang diketahui orang tua jika fungsi-fungsi psikososial dan
pendidikannya terganggu orang tua akan mengantarkan anaknya ke konselor jika
mereka memahami bahwa anaknya sedang mengalami gangguan yang berat. Karena itu
konseling keluarga lebih banyak memberikan pelayanan terhadap keluarga dengan
anak yang mengalami gangguan.
B.
Komunikasi pembentukan sikap dalam keluarga
Setiap hari
kita berkomunikasi dengan orang lain melalui berbagi media dan cara.
Berkomunikasi sangat penting bagi kita karena melalui komunikasi beberapa
kebutuhan kita terpenuhi. Sebagai contoh, melalui komunikasi kita mendapatkan
informasi penting untuk menyelesaikan tugas tertentu. Melalui komunikasi, kita
memperoleh kepuasan psikologis seperti terpenuhinya perasaan cinta, perhatian
dan kasih sayang. Bisa dibayangkan betapa tersiksanya manusia jika dalam sehari
atau seminggu tidak melakukan kontak komunikasi dengan orang lain.[4]
Begitu juga
keluarga, membutuhkan sentuhan komunikasi yang hangat dan penuh empati antara
sesama anggota kelaurga. Melalui komunikasi yang hangat dan penuh empati
tersebut, anggota keluarga akan terpenuhi kebutuhan psikologisnya. Berkaitan
dengan hal tersebut peranan komunikasi dalam keluarga merupakan hal yang sangat
penting. Antara suami dan isteri perlu saling berkomunikasi dengan baik untuk
dapat mempertemukan satu dengan yang lain, sehinggga dengan demikian
kesalahpahaman dapat dihindarkan. Dengan berkembangnya keluarga, yaitu hadirnya
anak dalam keluarga, komunikasi dalam keluarga akan lebih meningkat, dalam
pengertian perlu ada komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak. Cukup
banyak persoalan dalam keluarga yang timbul karena kurang atau tidak adanya
komunikasi yang baik dalam lingkungan keluarga, hal ini perlu disadari oleh
pihak orang tua.
1.
Komunikasi dalam keluarga
Pengertian
komunikasi cukup banyak dikemukakan oleh para ahli. Namun demikian secara umum
dapat dikemukakan bahwa komunikasi itu merupkan proses penyampaian dan
penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti. Syarat utama agar komunikasi
dapat dipahami yaitu lambang-lambang tersebut mengandung arti yang sama bagi
penyampaian dan penerimaan komunikasi. Komunikasi dapat berlangsung secara
verbal ataupun nonverbal.
Komunikasi
anatara suami isteri pada dasarnya harus terbuka. Hal tersebut karena suami
isteri telah merupakan satu kesatuan. Komunikasi yang terbuka diharapkan dapat
menghindari kesalah fahaman. Dalam batas-batas tertentu sifat keterbukaan dalam
komuniksi juga dilaksanakan dengan anak-anak, yaitu apabila anak telah dapat
berfikir secara baik, anak telah dapat mempertimbangkan secara baik mengenai
hal-hal yang dihadapinya. Dengan demikian diharapakan akan ada saling
pengertian di antara seluruh anggota keluarga dan dengan demikian akan terbina
dan tercipta tanggung jawab sebagai anggota keluarga. Komunikasi dalam keluarga
sebaiknya dua arah, yaitu saling memberi dan saling menerima di antara anggota
keluraga. Dengan komunikasi dua arah, masing-masing pihak akan aktif dan
masing-masing pihak akan memberikan pendapatnya mengenai maslah yang
dikomunikasikan.
2.
Sikap orang tua terhadap anak
Anak mulai
mengadakan hubungan secara langsung dengan lingkungannya, pertama-tama adalah
lingkungan keluarga. Kelurga merupakan lingkungan sosial yang pertama dan utama
bagi anak. Dalam lingkungan keluargalah anak mulai mengadakan persepsi, baik
mengenai hal-hal yang di laur dirinya, maupun mengenai dirinya.
Ada Beberapa
hal yang begitu penting untuk diperhatikan terkait prinsip-prinsip dalam
komunikasi, khususnya komunikasi pembentukan sikap dalam keluarga. Antara lain;
a)
Qaulan Tsaqiila (Komunikasi yang Berpengaruh)
Prinsip ini
menunjukkan bahwa setiap komunikasi yang kita sampaikan hendaknya kita
persiapkan dengan sungguh-sungguh sehingga bisa memberikan pengaruh kepada
pihak yang kita ajak bicara. Sebagai mana yang Allah Firmankan dalam Al qur’an
yang artinya : Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang
berpengaruh (Q.S. Al-Muzammil 73 : 5)
b)
Qaulan Sadiidaa (Komunikasi yang Tegas)
Komunikasi
yang tegas adalah komunikasi yang tidak penuh keraguan, ketidak pastian, dan
ketidak percayadirian. Dengan komunikasi yang tegas, orang lain akan memahami
bagaimana sikap kita, apa posisi kita dan dengannya tidak akan menimbulkan
kesalah pahaman maupun salah mengerti. Dalam Al Qur’an Surah An Nisaa ayat 9
Allah berfirman : Dan hendaklah takut
kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.
c)
Qaulan Baliighaa (Komunikasi yng Penuh Makna)
Prinsip ini
mengarahkan kita untuk bisa menyampaikan setiap pemikiran, perasaan dan nasehat
dengan menggunakan pilihan kata, gaya bahasa, yang penuh makna sehingga
membekas dalam diri orang yang kita ajak bicara.
Mereka itu
adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka.
Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan
Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (Q.S. An Nisa 4 : 63)
d)
Qaulan Layyina (Komunikasi dengan Lemah Lembut)
Kelemah
lembutan adalah salah satu faktor penting dalam berdakwah, bersosialisasi,
bergaul, sehingga orang akan merasa tentram dan rela menerima pembicaraan kita.
Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut (Q.S. Thaaha 20 : 44)
e)
Qaulan Ma’ruufaa (Komunikasi yang Penuh Nilai Kebaikan)
Komunikasi
yang penuh dengan nilai kebaikan akan menghindarkan kita dari perkataan dusta,
keji atau menimbulkan kemadharatan pada pihak-pihak yang kita ajak
bicara. Dan sebaliknya, kita bias memberikan banyak manfaat kepada orang lain.
Kuncinya adalah menjunjung musyawarah dan mampu menjaga nilai-nilai sportifitas
dan keadilan.
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka,
dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf.” (
QS. Al Baqarah 2 : 235)
f)
Qaulan Masysuuraa ( Komunikasi yang Mudah)
Kominikasi dilakukan
dengan bahasa yang mudah dicerna, tidak berbelit-belit dan tidak terlalu sering
diulang karena akan menimbulkan kebosanan. Saat berkomunikasi dengan anak
berikanlah contoh dari setiap perintah/keinginan, agar mudah dicerna. Karena
anak biasanya melakukan modeling dari orang tuanya.
“Dan jika kamu
berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu harapkan,
maka katakanlah kepada mereka Qaulan Maysura-ucapan yang mudah dicerna.” (Q.S. Al Isra : 28)
Dalam keluarga
anak mulai mengadakan interaksi dengan orang tuanya, yaitu ayah dan ibu. Dalam
interaksi masing-masing saling memberikan stimulus dan respon. Dengan interaksi
antara anak dan orangtua, maka akan terbentuklah gambaran-gambaran tertentu
pada masing-masing pihak sebagai hasil interaksinya. Anak akan mempunyai
gambaran tertentu mengenai orang tuannya, demikian pula sebaliknya orangtua
akan mempunyai gambaran tentang anaknya. Dengan adanya gambaran-gambaran
tertentu tersebut sebagai hasil persepsinya melalui komunikasi, maka akan
terbentuklah sikap-sikap tertentu pada masing-masing pihak. Bagi orangtua
sebagai objek sikap, sebaliknya bagi anak orang tua sebagai objek sikap. Pada
anak akan terbentuk sikap tertentu terhadap orang tuanya, sebalinya pada orang
tua akan terbentuk sikap tertentu terhadap anaknya.
C.
Efisiensi Peran Orang tua terhadap Anak
Bila kita
telaah sejarah, kita akan temukan orang seperti Shahib bin Ubbad, sebagai teladan yang terkenal dengan
kedermawanan dan kemurahannya. Ketika ibn Ubbad[5]
berbicara tentang bagaiman sifat mulia ini dapat melekat pada dirinya, ia
katakan bahwa sifat itu berasal dari ibunya. Ia juga menyatakan bahwa dirinya
mendapatkan petunjuk darinya, khususnya cara pembinaannya terhadapnya. Ibunya
setiap hari memberinya sejumlah uang, ketika ia pergi ke sekolah, dan
memintanya untuk bersedekah darinya.
Ibnu Ubbad
berkata, Perilaku sehari-hari yang dibiasakan oleh ibuku terhadapku ialah yang
menjadikan diriku dermawan, sebab aku terdidik bahwa manusia harus memikirkan
orang lain seperti memikirkan dirinya.”
Sekarang kita
pun dapat menerapkan metode seperti ini dalam membina ataupun mendidik anak,
memberikan kepada anak kasih sayang, dan mengajarkan mereka konsep-konsep luhur
untuk mengasihi, mencintai dan menyayangi. Hak tertinggi yang terletak di
pundak orang tua terhadap anak mereka adalah hak ketakwaan. Sewaktu seorang
anak mencapai usia tujuh tahun, ia wajib memepelajari pelaksanaan salat secara
benar. Dan orang tua wajib memberikan motivasi kepadanya, dengan memberikan hadiah
atau penghargaan. Demikian pula halnya dengan Ibadah puasa.
Bila seorang
anak memberikan pelayanan (bantuan) tertentu kepada tentangganya – atau kerabat
dan kawannya – maka wajib bagi kita memberikan semangat atas kecendrungan ini,
dengan menyodorkan hadiah yang pantas baginya. Bila seorang puteri telah
mencapai usia sembilan tahun (usia baligh dan taklif), dan seorang
puteri telah mencapai usia baligh dan taklif, hendaknya perangai takwa
mendalam pada eksistensinya dan hadir dalm perilakunya.
Sifat ketakwaan
inti tidak mungkin berpindah kepada anak kecuali melalui lingkungan keluarga
dan pengaruh langsung orang tua, yang menanamkan nilai-nilai keagamaan pada
jiwa anak dan mendidik mereka mengenal ma’ad (hari kebangkitan) serta
takut kepada Allah. Di antara hak-hak anak juga adalah adab (sopan santun).
Orang yang tidak menghias dirinya dengan adab yang baik, akan terisolir dari
masyarakat dan dikeluarkan dari lingkup hubungan-hubungannya yang wajar. Dan
orang yang terisolir dari masyarakat, hidupnya menjadi persemaian kejahatan,
karena ia tumbuh pada lingkaran yang mendorongnya menuju kejahatan dan
penyelewengan.[6]
Sungguh,
orang-tua mempunyai peranan mendasar dalam mendidik anak hingga pada persoalan
sekecil-kecilnya. Lantaran itu mereka harus mengajarkan kepada anak cara
berbicara, duduk, memandang, makan dan berhubungan dengan orang lain dirumah,
disekolah dan di masyarakat. Perlu diperhatikan bahwa para ayah yang hanya
sibuk dengan diri mereka dan ditenggelamkan oleh urusan-urusan dan
pekerjaan-pekerjaan khusus mereka, tidak dapat mendidik putra dan putri mereka
dengan benar. Padahal hal seperti ini memberikan dimensi-dimensi membawa
kesedihan yang mendalam. Dalam hal ini Allah berfirman :
“Demi masa,
sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, dan yang saling mewasiatkan kebenaran serta saling
mewasiatkan kesabaran.” (Q.S. Al Ashr : 1-3)
Perintah memlihara
anak menjadi tanggungan dan keluargannya sejalan dengan perintah dalam surah al
Tahrim (66) ayat 6 sebagai berikut:
Artinya : “Wahai
orang-orang yang beriman! Periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adlah manusia dan batu; penjaganya malikat-malaikat dan
keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim:6)
Setiap mukmin
diwajibkan untuk memberikan petunjuk kepada keluarganya dan memperbaiki seluruh
anggota keluarganya, sebagaimana ia diwajibkan terlebih dahulu memperbaiki
dirinya. Islam adalah suatu agama yang mengatur keluarga, maka ia mengatur
kehidupan berumah tangga. Rumah tangga yang Islami akan menjadi dasar
terbentuknya masyarakat yang Islami. Seorang ibu harus memiliki pribadi dan
prilaku Islami sebagaimana pula seorang ayah harus memiliki pribadi dan prilaku
Islami sehingga mereka dapat mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang
shalih dan shalihah. Karena, Terbentuknya keluarga yang Islami tergantung
kepada bagaimana didikan Orang Tua nya, seandainya didikan Orang tuanya bagus
yang mencerminkan kehidupan Islami, maka anak-anaknya pun akan menjadi
orang-orang yang Islami.
D.
Pendekatan konseling keluarga
Untuk memahami
mengapa suatu keluarga bermasalah dan bagaimana cara mengatasi masalah-masalah
keluarga tersebut, berikut akan dideskripsikan secara singkat beberapa
pendekatan konseling keluarga. Tiga pendekatan konseling keluarga yang akan
diuraikan berikut ini, yaitu pendekatan sistem, conjoint, dan struktural.
1.
Pendekatan Sistem Keluarga
Murray Bowen
merupakan peletek dasar konseling keluarga pendekatan sistem. Menurutnya
anggota keluarga itu bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi
(disfunctining family). Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat
membebaskan dirinya dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan mereka.
Menurut Bowen,
dalam keluarga terdapat kekuatan yang dapat membuat anggota keluarga
bersama-sama dan kekuatan itu dapat pula membuat anggota keluarga melawan yang
mengarah pada individualitas. Sebagian anggota keluarga tidak dapat menghindari
sistem keluarga yang emosional yaitu yang mengarahkan anggota keluarganya
mengalami kesulitan (gangguan). Jika hendak menghindari dari keadaan yang tidak
fungsional itu, dia harus memisahkan diri dari sistem keluarga. Dengan demikian
dia harus membuat pilihan berdasarkan rasionalitasnya bukan emosionalnya.
2.
Pendekatan Conjoint
Sedangkan menurut
Sarti (1967) masalah yang dihadapi oleh anggota keluarga berhubungan dengan
harga diri (self-esteem) dan komunikasi. Menurutnya, keluarga adalah fungsi
penting bagi keperluan komunikasi dan kesehatan mental. Masalah terjadijika
self-esteem yang dibentuk oleh keluarga itu sangat rendah dan komunikasi yang
terjadi di keluarga itu juga tidak baik. Satir mengemukakan pandangannya ini
berangkat dari asumsi bahwa anggota keluarga menjadi bermasalah jika tidak
mampu melihat dan mendengarkan keseluruhan yang dikomunikasikan anggota
keluarga yang lain.
3.
Pendekatan Struktural
Minuchin (1974)
beranggapan bahwa masalah keluarga sering terjadi karena struktur kaluarga dan
pola transaksi yang dibangunn tidak tepat. Seringkali dalam membangun struktur
dan transaksi ini batas-batas antara subsistem dari sistem keluarga itu tidak
jelas.
Mengubah struktur
dalam keluarga berarti menyusun kembali keutuhan dan menyembuhkan perpecahan
antara dan seputar anggota keluarga. Oleh karena itu, jika dijumpai keluarga
itu dengan memperbaiki transaksi dan pola hubungan yang baru yang lebih sesuai.
Berbagai pandangan
para ahli tentang keluarga akan memperkaya pemahaman konselor untuk melihat
masalah apa yang sedang terjadi, apakah soal struktur, pola komunikasi, atau
batasan yang ada di keluarga, dan sebagainya. Berangkat dari analisis terhadap
masalah yang dialami oleh keluarga itu konselor dapat menetapkan strategi yang
tepat untuk mambantu keluarga.[7]
E.
Pembinaan Keluarga dalam Al qur’an Surah Lukman
Di dalam Al
Qur’an Surah Luqman Ayat 16-17 dijelaskan
tentang konsep pembinaan keluarga sebagai berikut :
Pertama, Pengetahuan tentang Allah
Pada ayat ke 16
lukman berkata kepada anaknya, sebagai berikut:
(Luqman berkata): "Hai anakku,
Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam
batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya
(membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.”
(Q.SLuqman : 16)
Ayat di atas
menggambarkan percakapan antara Luqman al Hakim dengan anaknya. Luqman al Hakim
menjelaskan kepada anaknya bagaimana kemampuan kudratullah atau kadar kekuasaan
Allah SWT. Selanjutnya Luqman al Hakim juga mencoba memberi pemahaman bahwa
setitik debu tersebut tidak merasa dapat memberikan sumbangsih beban dalam
sebuah timbangan. Selanjutnya, jika manusia diberi rizki oleh Allah SWT
walaupun seberat biji sawi , sebutir pasir, di tempat-tempat yang telah ditentukan-Nya,
pasti Allah SWT akan memberinya. Dan janganlah kita terlalu memaksakan atau
menjadi makhluk yang sangat ambisius dalam mencari rizki yang membuat kita
lalai terhadap kewajiban-kewajiban kita kepada Allah SWT. Hal ini senada dengan
Firman Allah yang artinya: “ Kami akan memasang timbangan yang tepat pada
hari kiamat, Maka Tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan
jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan
(pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (Al Anbiya’ :
47)
Pengetahuan tentang
Allah Swt (Aqidah) adalah hal terpenting yang harus senantiasa
diperhatikan oleh orang tua. Karena jika aqidah seseorang baik dan kuat
maka segi-segi yang lainpun akan menjadi baik, namun. Aqidah itu harus
diajarkan mulai dari lingkungan rumah tangga, Karena lingkungan itulah sebagai
penanaman pondasi untuk anak-anaknnya, ketika pondasi itu sudah ditanam dengan
kuat, maka ketika anak itu bergaul dengan lingkungan lain mereka akan kuat
dengan berbagai macam kemaksiatan yang akan dia hadapi itu.
Selanjutnya Allah
SWT juga berfirman dalam surah Al Zalzalah ayat 7 dan 8 yang berbunyi :
Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya
Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barang siapa yang mengerjakan kejahatan
sebesar zarrah pun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Al
Zalzalah : 7-8)
Ayat keenam belas
pada surah Luqman juga menjelaskan pemahaman mengenai sifat-sifat Allah SWT. di
antaranya Allah SWT Maha Kaya, Maha Tahu dan Maha Halus, keyakinan terhadap
sifat-sifat Allah SWT akan menjadikan anak memiliki dorongan yang kuat untuk
menaati segala perintah Allah SWT. Kekuatan akidah merupakan landasan untuk
menaati semua perintah Allah SWT berupa taklif hukum yang harus dijalankan
sebagai konsekuensi keimanan. Oleh karena itu, perlu motivasi yang kuat,
ketekunan yang sungguh-sungguh, serta kreativitas yang tinggi dari para
orangtua terhadap upaya penanaman akidah yang kuat kepada anak.
Dari berbagai
penafsiran mengenai ayat di atas, para mufassir umumnya memiliki pandangan yang
sama. Kesamaan pandangan seperti segala perbuatan yang dilakukan manusia
walaupun perbuatan itu tak lebih besar dari sebutir biji pasir atau sebutir
biji sawi maka, maka Allah SWT akan menghadirkannya pada hari perhitungan amal,
dan Allah SWT tidak akan merugikan hambanya sedikitpun. Ini menunjukkan sifat
Mahakaya dan Mahateliti Allah SWT. Serta Allah SWT Mahamengetahui mengenai apa
saja yang dilakukan oleh hambanya, baik itu di langit, di dalam sebuah batu
atau di dalam bumi, maka Allah SWT akan membalas perbuatan hamba-hamba Nya pada
hari kiamat kelak. Sungguh, ilmu Allah SWT meliputi segala sesuatu. Tak ada
satu makhlukpun yang mampu bersembunyi dari pandangan-Nya, ketika seekor semut
berjalan di atas batu yang hitam pada malam yang kelam, maka hal tersebut tak
luput dari pandangan Allah SWT.
Kedua, Perintah mendirikan Shalat, seruan kepada
kebaikan dan mencegah Kemungkaran
Pada ayat ke 16
lukman berkata kepada anaknya, sebagai berikut :
Artinya: “Hai
anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah).” (Luqman : 17)
Allah SWT melalui
kisah Luqman al Hakim menggambarkan perintah yang seharusnya dilakukan oleh
para orang tua dalam mendidik anaknya agar mendapat keselamatan di dunia dan di
akhirat. Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa pertama, perintah
melaksanakan sholat yang terdapat dalam ayat ketujuhbelas surah Luqman mencakup
ketentuan-ketentuan, syarat-syarat dan ketepatan waktunya. Kedua,
perintah amr ma’ruf nahy munkar berarti perintah melakukan kebajikan dan
melarang dari setiap perbuatan buruk. Ketiga, bersabar atas segala
gangguan dan rintangan yang datang menghadang pada saat kita hendak
melaksanakan amr ma’ruf nahy munkar. Karena menurut beliau, setiap orang yang
hendak mengerjakan amr ma’ruf nahy munkar pasti akan mendapat rintangan, cobaan
atau halangan, dan pada saat itulah dibutuhkan kesabaran.
Luqman al Hakim
menanamkan ke dalam anaknya aqidah yang kuat, yaitu beriman kepada Allah SWT
dan tanpa sekutu bagi-Nya, setelah itu yakin adanya hari akhirat, dan percaya
kepada keadilan balasan Allah SWT yang tidak terlepas dari-Nya walaupun sebesar
sebiji sawi. Ia membawa anaknya kepada langkah yang kedua yaitu ber-tawajjuh
kepada Allah SWT dengan ibadah sholat dan menghadapi manusia dengan berdawah
kepada Allah SWT serta sabar memikul tugas-tugas da’wah dan kesulitannya yang
pasti dihadapi. lnilah jalan aqidah yang tersusun yaitu mentauhidkan Allah SWT,
meletakkan harapan pada balasan yang disediakan di sisi Allah SWT, percaya
kepada keadilan Allah SWT dan takut kepada balasan Allah SWT, kemudian
berpindah pula kepada kegiatan berda’wah, yaitu menyeru manusia memperbaiki
keadaan diri mereka, menyuruh mereka berbuat kebaikan dan melarang mereka
berbuat kemungkaran. Dan sebelum menghadapi perjuangan menentang kejahatan itu,
seseorang harus memiliki bekal utama yaitu bekal ibadah kepada Allah SWT, ber-tawajjuh
kepada Allah SWT dengan sholat dan sabar menanggung kesulitan yang dialami oleh
setiap penda’wah kepada agama Allah SWT, yaitu kesulitan akibat penyelewengan
hati manusia, kesulitan akibat dan kelancangan lidah dan dari kejahatan
manusia, juga kesulitan akibat dan kesukaran materi dan pengorbanan jiwa.
Beberapa
pendapat mufassir mengenai ayat ketujuh belas dalam surah Luqman memiliki
kesepakatan pandangan, mereka umumnya berpendapat, ketika aqidah sudah
ditanamkan kepada seorang anak agar senantiasa meyakini ke-Esaan dan kekuasaan
Allah SWT dan menjauhkan diri dari sifat syirik, maka dilanjutkan dengan
mengetahui beberapa sifat Allah SWT seperti Mahakaya, Mahakuasa dan Mahatahu
atas segala amal perbuatan manusia. Dilanjutkan dengan proses mendekatkan diri
kepada-Nya, yaitu dengan melaksanakan sholat, hal ini merupakan perkara yang
sangat penting, karena sholat merupakan dasar dari agama Islam, lebih lanjut,
sholat merupakan amal perbuatan pertama yang akan dimintai pertanggung jawaban
di akhirat kelak, jika baik sholatnya, maka Insyaallah baik pula amal perbuatan
lainnya.
Sholat akan
membentuk tingkah laku anak menjadi matang, Karena sholat yang diwajibkan Allah
SWT sebagai benteng untuk mencegah kenakalan moral. Islam memerintahkan kepada
orang tua agar mulai membiasakan mendidik anak menegrjakan shalat sejak usia
didni meskipun anak tersbut belum terkena kewajiban.[8] Karena itu, menegakkan sholat memiliki muatan ia
mengerjakan amal ibadah sholat sebagaimana yang di contohkan Rasulullah Saw. Akan tetapi , ia juga
menegakkan apa yang ada di dalam doa sholat. Sholat adalah sebuah Iqror “sesungguhnya
sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Robbul ‘Alamiin” ini
memiliki arti bahwa dengan sholat adalah sebuah kepatuhan hukum Allah SWT
(syariah Islam) dalam tata kehidupan.
Setelah perintah
mengerjakan sholat. Luqman al Hakim memerintahkan anaknya anaknya agar menyeru
kepada kebaikan dan cegahlah keburukan. Secara langsung Luqman al Hakim
memerintahkan kepada anaknya agar berdakwah di jalan Allah SWT. sebuah perintah
mulia yang diminta sang ayah kepada anaknya guna mendapat keridhoan-Nya.
Perintah berdakwah itu diiringi oleh nasihat agar sang anak senantiasa bersabar
dalam berdakwah. Menurut M. Quraish Shihab, semakin bertakwa seseorang, maka
semakin besar dan semakin panjang pula tingkat kesabarannya, sehingga yang
bersangkutan dapat mencapai satu tingkat kesabaran yang bagaikan tidak
terbatas. Sebaliknya, seseorang yang kurang atau tidak bertakwa akan hilang kesabarannya
bila ditimpa sedikit bencana, sehingga jangankan kesabaran terbatas, sedikit
kesabaran pun tidak dimilikinya.Kesabaran dapat ditumbuhkan sehingga mencapai
suatu batas yang mendekati “tidak terbatas”, antara lain dengan menyadari bahwa
ujian atau petaka yang sedang dihadapi dapat terjadi dalam bentuk yang lebih
besar. Jika ini disadari, ketika itu akan muncul dari lubuk hati yang terdalam
rasa syukur atas nikmat-nikmat lain yang selama ini diperoleh sehingga saat itu
juga kesabaran bagaikan tidak perlu diperankan lagi.
Kesabaran yang
diperintahkan oleh Luqman al Hakim kepada anaknya agar senantiasa istiqomah
dalam menyerukan kebaikan dan mencegah dari kemungkaran seolah menyadarkan
bahwa dalam mengemban tugas dakwah, rintangan dan halangan seolah menjadi
santapan bagi orang yang menyeru ke jalan kebaikan. Hal itu dikarenakan oleh
banyaknya rintangan dari orang-orang yang melemahkan semangat dan gangguan
orang-orang yang membenci dan mencaci. Sejak empat belas abad yang lalu, di
tanah Arab telah lahir Muhammad ibn Abdullah Saw. Para pemimpin agama Yahudi
dan Nasrani sebenarnya telah mengetahui beritanya, mereka datang menjumpai
beliau untuk meyakini kebenaran dakwah dan risalahnya.[9]
Jadi, setelah
menanamkan aqidah yang kokoh terhadap anak, maka dilanjutkan dengan mengenalkan
kepada mereka mengenai sifat dan kekuasaan Allah SWT. dilanjutkan dengan
perintah untuk senantiasa menjalankan sholat sesuai dengan
ketentuan-ketentuannya. Setelah itu, Allah SWT memerintahkan agar senantiasa
menyeru kepada manusia agar selalu mengerjakan kebaikan, baik itu berupa ucapan
maupun perbuatan, serta diiringi sifat sabar serta konsisten dalam menjalankan
amr ma’ruf nahy munkar dikarenakan banyaknya cobaan dan rintangan yang akan
datang menghadang.
F.
Daftar Pustaka
Latipun. 2011. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Hasan, Tholchah, M.
2008. Dinamika kehidupan Religius. Jakarta: PT Listafariska Putra.
Mazhahiri, Husain.
2002. Pintar Mendidik Anak. Jakarta: PT. Lentera Basritama.
Mashudi, Farid.
2012. Psikologi Konseling. Jogjakarta: IRCiSoD
Ramadhani, Savitri.
2008. The Art Of Positive Communicating; Mengasah Potensi dan Kepribadian
Positif Pada Anak Melalui Komunikasi Positif . Yogyakarta: Bookmarks.
Luddin, Bakar, Abu,
M. 2010. Dasar-dasar Konseling ; Tinjauan Teori dan Praktek. Bandung :
PT. Ciptapustaka media perintis.
Departemen Agama RI. 2009. AlQur’an dan
Tafsirnya.. Jakarta: Lembaga Percetakan Al Qur’an Departemen Agama.
http://muhsinabdulaziz.blogspot.com/2011/05/pembinaan-keluarga-tafsir-surah-luqman.html
[1] Drs. Abu Bakar M. Luddin, M.
Pd., Ph. D, Dasar-dasar Konseling ; Tinjauan Teori dan Praktek, (
Bandung : PT. Ciptapustaka media perintis, 2010) . hal. 31-32
[2] Farid Mashudi, Psikologi
Konseling (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012). Hal. 241
[3] Istilah skizofrenia berasal dari kata schizos :
pecah belah dan phren: jiwa. Skizofrenia menjelaskan mengenai suatu
gangguan jiwa dimana penderita mengalami perpecahan jiwa adanya keretakan atau
disharmoni antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan, Kraepelin seorang
ahli kedokteran jiwa dari kota Munich memaparkan skizofrenia sebagai bentuk
kemunduran intelegensi sebelum waktunya yang dinamakannya demensia prekox (demensia
: kemunduran intelegensi) prekox (muda, sebelum waktunya).
[4] Savitri ramadhani, The Art Of
Positive Communicating; Mengasah Potensi dan kepribadian Positif pada anak
melalui komunikasi Positif (Yogyakarta: Bookmarks, 2008), hal. 27
[5] Shahib bin Ubbad adalah Abul
qasim Ismail bin Abul Hasan bin Ubbad bin al-Abbas, lahir di sebuah daerah
persia di Ustukhar atau taligan, pada tanggal 16 Dzulqaidah 326 H. Ia
mempelajari ilmu dan adab dari ayahnya, dan terkenal sebagai pengelola
urusan-urusan keilmuan, adab, dan periwayatan hadis. Ia bekata, “Siapa yang
tidak menulis hadis, maka ia belum menemukan manisnya Islam.”
Ia
terkenal dengan kedermawanannya dan kemurahan hatinya, hingga diriwayatkan,
bahwa setiap tahun ia mengirim ke baghdad 5000 dinar yang dibagikan kepada para
fukaha dan sastrawan. Seorang pun tidak masuk kedalam rumahnya pada bulan
Ramadan, lalu keluar dari rumahnya melainkan setelah berbuka puasa, dan pada
setiap malamnya seribu orang berbuka puasa ditempat tinggalnya.
Ia
wafat pada tahun 385 H di kota ray dan dimakamkan di Isfahan, Iran. Tentang
Biografinya silakan merujuk dua ensiklopedia al-A’lam oleh az-Zarkuli,
dan al-Gadir oleh al-Amini – Penerjemah.
[7] Latipun, Psikologi Konseling
(Malang: UMM Press, 2011), hal. 140-141
[8] Muhammad Tholchah hasan, Dinamikia
Kehidupan Religius (Jakarta: Listafariska Putra, 2008). Hal. 84
0 komentar:
Post a Comment