Takdir adalah ketentuan Allah yang berlaku bagi para makhluknya
sesuai dengan pengetahuan dan hikmah-Nya. Seorang muslim dituntut untuk
menyakini bahwa setiap apa yang terjadi pada makhluk yang ada dialam
semesta merupakan atas kehendak Allah sesuai dengan pengetahuan-Nya,
yang telah ditulis di Lauh Mahfudz. Oleh karena itu seseorang tidak
dikatakan beriman hingga dia beriman kepada takdir secara benar.
Rasulullah Saw bersabda :
لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُؤْمِنَ بِاْلقَدَرِ خَيْرِهِ
وَشَرِّهِ، حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ،
وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَهُ
“Tidaklah seseorang beriman hingga ia beriman kepada takdir baik
atau buruk, hingga ia yakin bahwa apa yang akan menimpanya tidak akan
luput darinya dan apa yang akan luput darinya tidak akan menimpanya.”
(HR. Ahmad no. 6703, at-Tirmidzi no. 2144, Hadist shahih).
Coba kita renungkan kisah al-Walid bin Ubadah bin Shamit, beliau
pernah berkata kepada bapaknya ketika menjelang kematian bapaknya,
“Wahai ayahku berwasiatlah untuk kebaikanku”! lalu bapaknya berkata,
“Dudukkanlah aku”! Ketika dia sudah duduk lalu berkata, “Wahai anakku
kamu tidak akan merasakan lezatnya iman, kamu tidak akan pernah sampai
pada hakikat mengetahui Allah dengan benar, hingga kamu beriman kepada
takdir yang baik dan buruk”. Lalu al-Walid berkata, “Wahai ayahku
bagaimana aku mengetahui baik dan buruknya takdir?” Dia berkata, “Wahai
anakku apa yang dikehendaki oleh Allah luput darimu maka tidak akan
pernah menimpamu, dan apa yang dikendaki-Nya akan menimpamu maka ia
tidak akan luput darimu, Wahai anakku aku pernah mendengar Rasulullah
bersabda :
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ:
اكْتُبْ قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيْرَ كُلِّ
شَيْءٍ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ
“Sesungguhnya pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena, lalu
Allah berfirman, ‘Tulislah!’, lalu pena berkata, ‘Apa yang harus aku
tulis wahai Rabbku?’ Allah berfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu
hingga terjadi hari kiamat.”
Lalu sahabat Ubadah berkata lagi kepada putranya, “Wahai anakku aku juga mendengar Rasulullah bersabda:
مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّيْ
“Barang siapa meninggal tidak berkenyakinan seperti ini maka ia bukan termasuk dari golonganku.”
(HR. Abu Dawud no. 4700)
Lalu bagaimana iman seseorang kepada takdir bisa benar? Tidaklah iman
seseorang kepada takdir bisa benar hingga ia memahami empat hal, empat
hal ini saling berkaitan, jika salah satunya masih belum difahami dengan
baik maka iman seseorang kepada takdir belum benar, empat hal itu
adalah :
1. Al-Ilmu (Ilmu)
Yaitu beriman bahwa Allah mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali
mengenai apa-apa yang telah terjadi di seluruh penjuru langit dan bumi
atau di antara keduanya, yang sedang terjadi dan yang akan terjadi serta
mengetahui pula apa yang tidak terjadi, baik secara global maupun
terperinci. Allah Maha Mengetahui semua yang diperbuat makhluk-Nya
sebelum mereka diciptakan, mengetahui rezeki, ajal, amal, gerak, dan
diam mereka, serta mengetahui siapa di antara mereka yang sengsara dan
bahagia. Allah berfirman:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى
اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui
apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu
terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian
itu amat mudah bagi Allah.”
(QS. Al-Hajj: 70)
2. Al-Kitaabah (Penulisan)
Yaitu mengimani bahwa Allah telah menulis apa yang telah
diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di dalam
Lauh Mahfuzh, tidak ada sedikitpun yang terlupakan semua tertulis
didalamnya. Allah berfirman:
وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(QS. Yaasiin: 12)
Rasulullah bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ. قَالَ: وَعَرْشُهُ
عَلَى الْمَاءِ
“’Allah telah menulis takdir seluruh makhluk sejak lima puluh
ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi’. Beliau bersabda,
‘Dan ‘Arsy-Nya diatas air’”. (HR. Muslim no. 2653)
Dan Sabdanya:
مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوْسَةٍ إِلَّا كُتِبَ مَكَانُهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ، وَإِلَّا قَدْ كُتِبَ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيْدَةً
“Tiada jiwa manusia yang hidup kecuali telah ditulis tempatnya di surga atau neraka, dan telah ditulis celaka atau bahagia.”
(HR. Bukhori, no. 1362, Muslim, no. 2647)
3. Al-Masyiiah (Kehendak)
Yaitu yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi
semua atas keinginan dan kehendak Allah. Apa yang Allah kehendaki pasti
akan terjadi, meskipun manusia berupaya untuk menghindarinya, dan apa
yang tidak dikehendaki-Nya, maka tidak akan terjadi, meskipun seluruh
makhluk berupaya untuk mewujudkannya. Allah berfirman:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menhendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.”
(QS. At-Takwir: 29)
Rasulullah juga bersabda:
إِنَّ قُلُوْبَ بَنِيْ آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ
مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ، كَقَلْبٍ وَاحِدٍ، يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ
“Sesungguhnya hati-hati manusia seluruhnya di antara dua jari
dari jari-jemari ar-Rahman seperti satu hati; Dia memalingkannya kemana
saja yang dikehendaki-Nya.”
(HR. Muslim no. 2654)
Ibnu Qudamah berkata, “Para Imam Salaf dari kalangan umat Islam
telah ijma’ (sepakat) bahwa wajib beriman kepada qadha’ dan qadar Allah
yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, yang sedikit
maupun yang banyak. Tidak ada sesuatu pun terjadi kecuali atas kehendak
Allah dan tidak terjadi segala kebaikan dan keburukan kecuali atas
kehendak-Nya. Dia menciptakan siapa saja dalam keadaan sejahtera dan ini
merupakan anugerah yang Allah berikan kepadanya, dan menjadikan siapa
saja yang Dia kehendaki dalam keadaan sengsara dan ini merupakan
keadilan dari-Nya, hak absolut-Nya serta merupakan ilmu yang
disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya.”
(al-Iqtishaad fil I’tiqaad, hal. 15)
4. al-Khalq (Penciptaan)
Yaitu menyakini bahwa Allah adalah Pencipta (al-Khaliq), tidak ada
pencipta selain-Nya, dan segala sesuatu selain Allah adalah makhluk
ciptaan-Nya tak terkecuali manusia dan perbuatannya. Sebagaimana firman
Allah:
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
“Allah itu pencipta segala sesuatu.”
(QS. Ar-Ra’du: 16)
Dan firman-Nya :
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
”Dan Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.”
(QS. Ash-Shaaffaat: 96)
Dan Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يَصْنَعُ كُلَّ صَانِعٍ وَصَنْعَتَهُ
“Sesungguhnya Allah pencipta setiap yang menciptakan dan ciptaannya.”
(HR.
Bukhori fii af’alil ibaad 1/46, al-Baihaqi fii al qodho’ wa al qodar
no. 133, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam silsilah hadist shahih no.
1637)
Referensi :
- al-Iman bil Qodho’ wa al-Qadar, Muhammad bin Ibrahim al-Hamad.
- al-Iqtishaad fil I’tiqaad , Ibnu Qudamah.
- Af’al al-Ibaad, Imam Bukhari.
- Al-Qadha’ wa al-Qadar, Imam Baihaqi, dll.
0 komentar:
Post a Comment